Jumat, 14 Oktober 2011

AMANDEMEN UUD 1945 DAN SEMANGAT PENYELENGGARA NEGARA DITINJAU DARI ASPEK HUKUM TATANEGARA

Lima puluh tujuh tahun yang lalu negarawan pendiri Republik ini telah merumuskan UUD 1945 yang monumental, penuh dan sarat dengan symbol dan mitos. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya konstitusi ini telah berperan mengikat dan menyatukan masyarakat Indonesia yang pluralistik, dan berhasil menumbuhkan perasaan kebangsaan yang mendalam.
Dalam perjalanan sejarah Republik ini ternyata apa yang disebut symbol dan mitos tersebut tidak cukup, sebab tidak ada satu sistem ketatanegaraan yang digambarkan dalam konstitusi atau UUD sudah sempurna pada saat dilahirkan, karena dia adalah produk zamannya. UUD 1945 adalah produk masanya, dalam kurun waktu perkembangannya mungkin saja terasa sesuatu yang perlu diubah atau di amandemen. Dan berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Pasal 37 UUD 1945 sejak tahun 1999 sampai tahun 2002 MPR  telah melakukan tiga kali perubahan UUD 1945 dengan menghasilkan perubahan pertama dalam Sidang Umum MPR 1999, perubahan kedua dalam sidang tahunan 2000 dan perubahan ketiga dalam Sidang Tahunan 2001.

II
Setelah tiga dasa warsa bangsa ini terpasung, maka tidak dapat tidak, amandemen UUD 1945 harus merupakan conditio sine quo non untuk tegaknya demokrasi, rule of law, pengendalian kekuasaan dan memungkinkan warga negara secara maksimal mempergunakan kebebasan individual dan hak politik partisipatorisnya.
Dari aspek hukum ketatanegaraan perubahan UUD 1945 merupakan hal yang wajar dan bisa terjadi, karena memang diatur dalam pasal 37 UUd 1945, apabila lembaga yang berwenang yakni Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mempunyai keinginan politik untuk perubahan itu, sepanjang perubahan itu tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, bentuk negara kesatuan dan sistem pemerintahan presidensial.
Perubahan UUD 1945 pada hakekatnya  merupakan tuntutan mendasar bagi penataan ulang kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Perubahan terhadap UUD 1945 berangkat dari tuntutan reformasi dalam rangka membentuk atau mendesain demokrasi yang berorientasi pada keadilan, supremasi hukum, civil society dan checks and balances yang menaburkan dominasi kekuasaan seperti strong presidensiil.
Konstitusi harus benar-benar merupakan "the Supreme Law of the Land". Para penyelenggara negara harus sadar bahwa kewenangan mereka dibatasi oleh konstitusi, dan rakyat atau warga neara juga harus yakin bahwa konstitusi melindungi mereka sebagai refleksi dari apa yang dinamakan kontrak sosial.
Di era reformasi dimana bangsa Indonesia telah sepakat untuk mengaktualisasikan nilai-nilai dasar demokrasi, konstitusi tidak lagi dianggap sacral dan hal itu telah dibuktikan dengan adanya tiga kali proses amandemen konstitusi dalam Sidang Tahunan MPR.
Munculnya pemikiran atau gagasan pembentukan komisi konstitusi yang bersifat independen harus disikapi secara positif. Kendatipun secara konstitusional MPR yangt berwenang merubah UUD 1945, namun dalam proses perubahan perlu diberi peluang partisipasi masyarakat dalam penyusunan materinya.
Pentingnya partisipasi rakyat dalam proses penyusunan konstitusi, karena pada hakekatnya konstitusi merupakan kontrak sosial antara masyarakat dengan negara, dimana pada satu sisi masyarakat merelakan diri untuk melepas sebagian dari hak-haknya dan tunduk dan diatur oleh negara. Sementara disisi lainnya, negara juga diberi batasan-batasan tertentu dengan adanya pengakuan dan jaminan terhadap HAM dengan mengedepankan prinsip pembatasan kekuasaan dan checks and balance. Dengan demikian sudah seharusnya masyarakat atau warga negara berpartisipasi penuh dalam proses pembentukan konstitusi.
Adalah kurang bijak apabila proses perubahan UUD 1945 yang menyangkut nasib seluruh anak negeri, hanya menjadi monopoli 700 anggota MPR semata. Karena itu perlu agar rakyat secara keseluruhan menjadi bagian aktif dalam proses yang ada dan rakyat sebagai pemilik kedaulatan berhak mendapatkan informasi semaksimal mungkin mengenai hal itu.

III

MPR telah tiga kali melakukan amandemen terhadap UUD 1945 sejak tahun 1999. Tahun 2002 ini MPR dijadualkan untuk menyelesaikan amandemen keempat dan terakhir terhadap UUD 1945.
Dalam proses amandemen beberapa substansi materi misalnya tentang sistem pemerintahan memang diperlukan kajian kritis. Kesepakatan awal pada tahun 1999 yang menetapkan bahwa UUD 1945 tetap menganut sistem Presidensial ternyata materi pengaturannya tidak konsisten.
Beberapa hal yang menunjukkan bahwa sistem Presidensial tidak diterapkan secara konsisten adalah :

  1.  MPR masih memiliki kewenangan-kewenangan yang meletakkannya sebagai suatu lembaga "Supra", bahkan di atas konstitusi, karena asih berwenang menetapkan dan melakukan perubahan terhadap konstitusi (Pasal 3 perubahan ketiga UUD 1945).
  2. Menentukan impeachment terhadap Presiden meskipun sudah ada rekomendasi dari Mahkamah Konstitusi (Pasal 7 B ayat (7) perubahan ketiga).
  3.  Pemilihan Presiden belum disepakati untuk dilaksanakan sepenuhnya secara langsung karena masih ada keinginan untuk melakukan pemilihan Presiden tahap kedua oleh MPR. Apabila sistem Presidensiil dilaksanakan secara konsekuen, maka Presiden harus sepenuhnya dipilih secara langsung oleh rakyat. Peluang bagi MPR untuk tetap melakukan pemilihan Presiden akan merusak sistem checks and balance yang menjadi inti sistem pemerintahan presidensiil.
  4. Sistem bikameral yang digariskan dalam amandemen ketiga UUD 1945 masih bukan bikameralisme murni yang menjamin adanya keseimbangan atau checks and balance antara kedua kamar di parlemen yakni DPR dan DPD. Wewenang DPD lebih lemah bila dibandingkan wewenang DPR. DPD hanya memiliki hak legislasi dan pembahasan dalam hal-hal yang berkaitan dengan otonomi daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah (Pasal 22 D ayat 1dan 2). Untuk mempertahankan akuntabilitas horizontal dan menjamin keterwakilan suatu daerah, maka seharusnya DPD diberi kewenangan yang sejajar dengan DPR, sehingga wakil daerah pun dapat memberikan suaranya mengenai persoalan-persoalan nasional.

Dengan demikian parlemen atau MPR hanya merupakan suatu joint session yang terdiri dari DPR dan DPD yang hanya dapat menghasilkan legislasi atau keputusan secara bersama.
Persoalan mendasar dalam praktek politik ketatanegaraan yang akan datang adalah mengenai keanggotaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dalam perubahan ketiga UUD 1945 ditegaskan bahwa anggota DPD dari setiap propinsi jumlahnya sama dan jumlah anggota DPD itu tidak boleh lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR (Pasal 22 C ayat 2 Perubahan Ketiga UUD 1945). Ketimpangan jumlah DPR dan DPD menjadi persoalan dalam konteks bikameral pada masa yang akan datang. Masalahnya bagaimana menentukan quorum Sidang MPR. Bila diterapkan ketentuan one man one vote (satu orang satu suara), berarti DPR dapat mengabaikan kehadiran DPD. Artinya sidang MPR tidak memerlukan persetujuan DPD karena jumlah DPR yang mayoritas.
Oleh karena itu dalam praktek ketatanegaraan yang akan datang perlu adanya political will dengan mempertimbangkan kehadiran konvensi ketatanegaraan agar anggota DPD mempergunakan sistem bukan jumlahnya sama setiap propinsi, tetapi memilih satu anggota DPD per kabupaten/kota. Karenanya masalah keterwakilan Daerah lewat DPD perlu memperoleh perbaikan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia mendatang.
Perbincangan atau diskursus tentang keterwakilan rakyat/daerah sebagaimana dikemukakan di atas merupakan perbincangan tentang dan sekitar perwujudan demokrasi dulu, kini dan yang akan datang dalam politikan Indonesia
Dalam realitas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) keterwakilan merupakan legitimasi yang paling rasional sebagai penghormatan yang dapat dijelaskan dengan satu pemahaman bahwa, pluralitas atau kemajemukan yang sangat mungkin terjadi dalam komunitas masyarakat Indonesia dapat terakomodasi tanpa mengedepankan peran-peran anarkis dan dominasi atas satu kelompok oleh kelompok lain.
IV
Dari apa yang disampaikan di atas, maka masalah yang tidak kalah penting pasca amandemen UUD 1945 adalah menyangkut tentang dan sekitar operasionalisasi pemerintahan dalam hal hidupnya negara. Dalam konteks tersebut tidak dapat tidak kita harus berbicara mengenai semangat penyelenggara negara atau semangat para pemimpin pemerintahan.
UUD suatu negara adalah memuat pengaturan-pengaturan dasar bagi penghidupan dan kehidupan di segala bidang dari bangsa dan negara yang ber undang-undang dasar itu. Demikian pula UUD baru (hasil amandemen) bagi negara Republik Indonesia.
Karenanya dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia kedepan harus dapat dibedakan antara hukum dasar tertulis (UUD) dengan etika politik dan etika moral penyelenggara negara dan penyelenggara pemerintahan, sebagai unsur dinamis yang bergandengan dengan hukum dasar tertulis itu sendiri (UUD 1945 hasil amandemen).
Karenanya apa yang harus dipertahankan dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia yang akan datang adalah terutama nilai-nilai yang terkandung dalam hukum tertulis itu sendiri, terutama adalah Pembukaan UUD 1945, sedangkan implementasinya (dalam bentuk Undang-undang), yang dibuat oleh DPR dan Presiden sebagai penyelenggara negara/pemimpin pemerintahan haruslah dinamis disesuaikan dengan dinamika masyarakat.
Sesuai dengan asas kedaulatan rakyat yang dianut oleh konstitusi baru Indonesia hasil amandemen, maka tidak dapat tidak syarat yang harus dipenuhi dalam mengimplementasikan ketentuan-ketentuan konstitusi yaitu disepakati oleh seluruh rakyat, tidak boleh ada pemaksaan kehendak oleh para pemimpin pemerintahan atau penyelenggara negara yang dalam konteks, politik ketatanegaraan disebut konsensus nasional.
Daaam menyongsong/mengiringi ketatanegaraan Indonesia (pasca amandemen UUD 1945) konsensus nasional harus diupayakan terus menerus dalam praktek  ketatanegaraan. Kemungkinan-kemungkinan yang akan muncul dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia yang akan datang sangat komplek sesuai dengan dinamika masyarakat yang menyangkut banyak persoalan yang dasarnya bersumber pada masalah pokok antara lain;
  1. Masalah hak asasi
  2. Masalah keterbukaan dan transparansi
  3. Masalah kemiskinan dan ketidakadilan
  4. Masalah demokrasi dan demokratisasi
  5. Mekhanisme suksesi (pemilihan Presiden langsung atau melalui MPR)
  6. Masalah pendidikan dan lain sebagainya.
Oleh sebab itu dalam mengiringi kehidupan ketatanegaraan Indonesia kedepan sebagaimana gambaran di atas sangat relevan apabila kita kaitkan dengan semangat penyelenggara negara, semangat pemimpin pemerintahan.

*) Disampaikan dalam seminar nasional “Sikap Antar Generasi Menanggapi Amandemen UUD 1945 dan Kondisi Negara Bangsa Dewasa ini ,”Kerjasama Dewan Harian Daerah 45 – Lembaga dan Pengembangan Kehidupan Bernegara (LP2KB) – Forum Pasca 45 Propinsi DIY, tanggal 27 Juli 2002.
**) Guru Besar Fakultas Hukum UII

Tidak ada komentar: