Kamis, 13 Oktober 2011

Kondisi Sosial Dan Pengambilan Keputusan Masyarakat Pra-Islam


  Latar Belakang
Letak Negara Arabia yang dekat dengan persimpangan ketiga benua, menjadi sebuah kelebihan tersendiri, karena dengan hal itu bangsa arab menjadi sangat mudah dikenal, ketika nabi Muhammad lahir (501) M. Bangsa arab arab sangat terkenal dari pada Negara-negara lain, baik dari segi budaya maupun dari segi letaknya,
Berbicara masalah Islam pada masa sekarang tidak bisa dilepaskan dari sejarah kedaan Bangsa Arab pra-Islam, yang terkenal dengan sifat jahiliyahnya, mungkin kondisi itulahn yang menyebabkan kenapa hukum islam lebih cenderung bersifat tegas,
Dari latar belakang itulah kami mencoba untuk  mengangkat tema tentang kondisi bangsa arab pada masa pra islam dengan harapan kia dapat mengambil hikmah dari apa yang telah kita ketahui


A.      Kondisi Sosial Bangsa Arab Pra-Islam
Arabia merupakan wilayah padang pasir yang terletak di bagian barat daya Asia. Ia merupakan padang pasir terluas dan tergersang di dunia. Luas wilayahnya 120.000 mil persegi dan rata-rata berpenduduk lima jiwa setiap mil persegi.
Arabia merupakan wilayah strategis dalam peta dunia zaman kuno, ketika benua Amerika dan Australia belum dikenal, karena letaknya berada pada posisi pertemuan tiga benua yaitu Asia, Eropa dan Afrika. Wilayah bagian utara berbatasan dengan lembah gurun Syria, bagian timur berbatasan dengan dataran tinggi Persia dan bagian barat berbatasan dengan Laut Merah.
Karena dikelilingi laut pada ketiga sisinya, maka Arabia dikenal sebagai "jazirah Arabia" (Kepulauan Arabia). Bagian utara Arabia merupakan wilayah tandus. Sepertiga lebih wilayah Arabia berupa padang pasir. Wilayah padang pasir yang terbesar adalah ad-Dahna yang terletak di pertengahan wilayah utara.[1]Wilayah selatan Arabia merupakan wilayah subur dan berpenduduk padat. Hadramaut dan Yaman merupakan wilayah tersubur di Arabia Selatan.
Suhu udara dan iklim Arabia sangat panas dan kering kecuali sebagian wilayah pesisir dan lembah-lembah yang berair. Meskipun wilayah Arabia dikelilingilaut pada ketiga sisinya, namun wilayah ini nyaris tidak memiliki sungai, jika ada, hanyalah sungai-sungai kecil yang tidak dapat digunakan sebagai sarana pahelayaran. Kurma merupakan tanaman primadona di Arabia. Tanaman ini sangat dekat dengan kehidupan masyarakat. Bagi masyarakat Arabia, pohon kurma mempunyai banyak manfaat. Buahnya merupakan makanan tetap masyarakat, bijinya sebagai persediaan makanan unta, sarinya yang dicampur dengan susu merupakan minuman khas masyarakat Badui, batang kayunya berfungsi sebagai bahan bakar, daunnya dijadikan sebagai bahan atap rumah dan serabut pada dahannya diolah menjadi tambang. Yaman merupakan wilayah tersubur di Arabia yang menghasilkan gandum dan kopi.
 Masyarakat Arabia terbagi menjadi dua kelompok yaitu penduduk kota dan penduduk gurun atau Badui. Penduduk kota bertempat tinggal menetap, mereka telah mengenal cara mengelola tanah pertanian, tata cara perdagangan, bahkan hubungan perdagangan mereka sampai ke wilayah luar negeri.[2]
Dibandingkan dengan kelompok Badui, penduduk perkotaan lebih berbudi dan berperadaban. Kelompok masyarakat Badui berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Mereka biasanya beristirahat di suatu tempat dengan mendirikan kemah atau tenda.Mengendarai unta, menggembalakan domba dan keledai, berburu dan menyerbu musuh, menurut adat mereka merupakan pekerjaan yang pantas untuk laki-laki.
Masyarakat Badui memiliki rasa kesetiaan yang besar terhadap sesama warga suku. Patriotisme Badui tidak didasari rasa kebangsaan ataupun semangat kedaerahan, melainkan dilandasi oleh fanatisme kesukuan. Sebuah suku harus mampu melindungi warganya dan warga harus setia terhadap sukunya. Fanatisme kesukuan merupakan faktor penyebab terjadinya peperangan yang berkepanjangan antar mereka sebelum Islam datang.
Kondisi kehidupan Arabia menjelang kelahiran Islam secara umum dikenal sebagai "zaman jahiliah" atau zaman kebodohan. Dinamakan demikian disebabkan kondisi sosial, politik dan keagamaan di sana. Dalam waktu yang cukup lama, masyarakat Arabia tidak memiliki seorang Nabi, kitab suci, ideologi agama dan tokoh besar yang membimbing mereka. Maka tidak mempunyai sistem pemerintahan yang ideal dan tidak mengindahkan nilai-nilai moral. Pada saat itu, tingkat keberagamaan mereka tidak jauh dengan masyarakat primitif.
Mayoritas masyarakat Arab adalah penyembah berhala kecuali sebagian kecil penganut agama Yahudi dan Nasrani. Mereka tidak mempercayai Tuhan yang Maha Esa dan adanya hari pembalasan. Mereka mempunyai berhala yang banyak. Tidak kurang 360 berhala ditata di sekeliling Ka'bah.[3]
Meskipun belum terdapat sistem pendidikan, masyarakat Arabia pada saat itu tidak mengabaikan kemajuan kebudayaan. Mereka sangat terkenal kemahirannya dalam bidang sastra yaitu bahasa dan syair. Bahasa mereka sangat kaya sebanding dengan bahasa Eropa sekarang ini. Keistimewaan bangsa Arabia di bidang bahasa merupakan kontribusi mereka yang cukup penting terhadap perkembangan dan penyebaran agama Islam.
Semenjak zaman jahiliah, sesungguhnya masyarakat Arab memiliki berbagai sifat pemberani, ketahanan fisik yang prima, daya ingatan yang kuat, kesadaran akan diri dan martabat, cinta kebebasan, setia terhadap suku dan pemimpinnya, pola hidup sederhana, ramah-tamah dan mahir dalam bersyair.
Namun sifat-sifat dan karakter yang baik tersebut seakan tidak ada artinya karena suatu kondisi yang menyelimuti kehidupan mereka, yakni ketidakadilan, kejahatan dan keyakinan terhadap tahayul.
Wanita menempati kedudukan yang terendah sepanjang sejarah umat manusia. Mereka sama sekali tidak mendapatkan penghormatan sosial dan tidak memiliki hak apapun. Mereka juga tidak memiliki hak warisan terhadap harta kekayaan almarhum ayah dan suaminya atau kerabatnya. Demikianlah sangat rendah dan hina kedudukan wanita sebelum Nabi muhammad saw lahir.
Nabi berjuang untuk mengentaskan jurang kehinaan wanita kepada kedudukan yang mulia dan terhormat. sistem perbudakan merupakan sisi lain dari kemasyarakatan bangsa arab pada saat itu. budak diperlakukan majikannya secara tidak manusiawi. majikan mereka tidak jarang menyiksanya secara kejam karena kesalahan kecil. kondisi sosial dan moral tersebut, khususnya yang melanda jazirah arabia dan umumnya yang terjadi pula di seluruh penjuru dunia. dalam kondisi semacam ini, nabi muhammad saw dilahirkan di negeri arabia sebagai pembawa rahmat (kebajikan) bagi bangsa arab dan bagi seluruh alam semesta ini.
B.       Sistim Pengambilan Atau Penetapan Hukum Bangsa Arab Pra-Islam
Tidak ada hukum yang dicoba-kontruksi secara definitif dan sistematis pada masa arab pra-islam.[4] Mereka mengikuti saja tradisi kabilah-kabilah. Banyak hukum dipengaruhi ajaran-ajaran Kristen, yang mana semua keputusan ada di kepala suku(qobilah), karene kepala suku disni bertugas sebagai pemimpin
Dalam wilayah domestik keluarga[5], seorang bapak akan bermusyawarah dengan anak-anak perempuannya prihal siapa pasangan mereka. Banyak model pernikahan mereka kenal; Muqthu’, Mut’ah, Syighar, Isytibdla’, Akhdzan dan Baghaya. Meskipun begitu, pernikahan Muqthu’, seabagai salah satu model pernikahan pra Islam, sangat dibenci berbagai kabilah. Maka muncul terma nyinyir “walad muqti” (anak yang dibenci). “Al muqt” sendiri sinonim dengan “Al baghdlu al syadid” (kebencian yang sangat). Tradisi mengubur anak perempuan hanya dilakukan sebagian Bani Tamim dan Bani Asad. Itu pun terbatas pada komunitas miskin.
Tradisi khitbah dan pernikahan yang lazim pada masa sekarang juga merupakan bagian dari tradisi mereka. Dalam masyarakat Arab menikahi dua perempuan bersaudara dibolehkan. Mereka pun mengenal banyak mekanisme talak; dlihar, ila dan talak seperti kita ketahui sekarang. Masyarakat Arab kebanyakan, tak mengenal batas hitungan talak. Setiap saja mentalak, mereka akan merujuknya kembali sebelum masa ‘idah (penantian). Jika terjadi setelah masa ‘idah, mereka tidak bisa mengawininya kembali kecuali atas persetujuan pihak perempuan.
Masih dalam wilayah domestic (waris)[6] mereka mengenal tiga bentuk warisan; Al Qarabah, Tabanni dan Al Half wa Al ‘Ahd. Yang terakhir dikenal dalam Islam dengan Al Muwalah. Dalam masalah kepemilikan mereka menyakini sebab-sebab kepemilikan; paksaan, waris, wasiat, hibah, jual beli dengan unsur judi dan hasil penipuan. Mereka juga tak merelakan uangnya untuk orang lain kecuali dengan kesepakatan riba (pelebihan). Ketika masa pinjaman sudah berlalu, pihak yang meminjami akan memberikan pilihan kepada si peminjam untuk memilih antara mengembalikan utuh atau melebihkan pinjaman. Mereka biasa mengatakan “Addi au arrib” (Lunasi atau lebihkan).
Di Madinah, kehidupan masyarakat Arab sebetulnya lebih berbudaya. Hasil interaksi yang lebih halus, terbuka dan mendalam dengan penganut Yahudi dan Nasrani menjadikan ebih banyak dasar-dasar agama dan hukum mereka yang diserap.
Dalam mekanisme penentuan keturuan ketika terjadi sengketa mereka mengenal Qiyafah. Tidak hanya itu, qiyafah juga berfungsi dalam keputusan tindak kriminal. Orang Arab bisa mengenali siapa pelaku dengan meneliti jejak-jejak kaki. Farrasah juga merupakan bagian dari keahlian orang Arab menentukan siapa pelaku kriminal dengan memperhatikan suara, raut wajah dan gerak orang yang berbicara. Cara lain adalah Qassamah dan Qur’ah.
Seperti yang sudah penulis ilustrasikan, masyarakat Arab merasa bisa hidup tenang jika dendam sudah terbayarkan. Darah harus dibalas dengan darah dan nyawa harus ditebus dengan nyawa. atau dalam istilah islam disebut Qisos, Mereka tidak mengenal klasifkasi kriminal atas dasar rekayasa atau kekeliruan sebagaimana Islam. Hanya saja mereka mengenal praktek kompenasasi material yaitu mekanisme diyat yang kemudian dimodifikasi Islam.
Begitu juga Arab sudah mengenal etika-etika kehidupan tersendiri. Etika perjamuan, berpakaian, pesta pernikahan, hari-hari besar sudah ada dan dipraktekkan oleh bebagai kalangan kabilah.
Dalam tradisi politik, mereka mengenal Syura. Dalam hal peribadatan, kepercayaan dan ritual mereka melakukan penghormatan Ka`bah dan Tanah Suci Makkah, prosesi Haji dan Umrah, mensucikan Bulan Ramadhan, memuliakan bulan Dzul Qa`dah, Dzul Hijjah, Muharram, Rajab yang sering disebut “Al Asyhur Al Haram” dan berkumpul di hari Jum`at

 Kesimpulan
Bangsa arab pra-islam bisa dikatakan sudah mempunyai sistim pengambilan keputusan untuk menyelesaikan segala permasalahan mereka, hanya saja meeka tidak memiliki undang-undang tetulis yang dapat dijadikan pegangan dalam menyelesaikan permasalahan, mereka memutuskan permasalahan yang terjadi berdasarkan kepada setiap kepala suku disetiap kabilah, seperti dalam permasalahan perkawinan dan permasalahan yang lain.

DAFTAR PUSTAKA
·        Salam, Madkur, Muhammad, Peradilan Dalam Islam, 1993. Surabaya, PT Bina Ilmu.
·        Syalabi, A, Sejarah Dan Kebudayaan Islam, 1983. Jakarta: Pustaka Al-Husna,
·        Amin, Ahmad, Fajr Al-Islam, 1975 Kairo: Maktaah Al-Nahdhah Al-Mishriyah.


[1] Ahmad amin, fajr al-islam, kairo: maktabah al-nahdhah al-mishriyah, 1975, hal 1-2
[2] Ibit 1, hal: 3
[3] A. syalabi, sejarah dan kebudayaan islam, Jakarta: pustaka al-husna, 1983. Hal: 30
[4] Muhammad salam madkur, peradilan dalam islam, PT bina ilmu, Surabaya, 1993, hal: 34
[5] Ibit, hal: 35
[6] Ibit, hal 35

Tidak ada komentar: