Kamis, 13 Oktober 2011

MASA ‘IDDAH, HAK HADLANAH, HARTA BERSAMA


A.      IDDAH
Kata ‘iddah berasal dari Bahasa Arab “Al-‘Adad” berarti bilangan, dan dalam istilah Syariat ia berarti suatu masa penantian seorang perempuan sebelum kawin lagi setelah kematian suaminya atau bercerai darinya.[1] Para Ulama Muslim sepakat tentang wajibnya iddah, karena perintah Allah dalam Al-Quran tentang hal ini cukup jelas tersurat:Q.S Al- Baqarah, 228
Syariat menekankan perdamaian atau rujuk sebagai suatu jalan yang lebih baik dari bercerai bagi pasangan yang menikah, dan member mereka kesempatan untuk memperbaiki hubungan mereka kalau telah menjadi renggang, tidak harmonis. Oleh karena itu Al- Quran menetapkan suatu saat pisah pendek dan terselangnya hubungan perkawinan itu mungkin akan member kesempatan kepada pasangan itu memikirkan dan mempertimbangkan kembali kepentingan-kepentingan kekeluargaan dan anak-anak, dengan mempertanyakan apakah perpisahan ini patut diurungkan, rujuk kembali, atau akan bercerai seterusnya.
Iddah mempunyai tujuan penting lain yang harus dijalani, yaitu dengannya dapat diketahui apakah si wanita tengah mengandung dari suami terdahulu, agar ia tidak bimbang mengenai ayah dari anak yang dikandungnya itu, bila si wanita itu ingin menikah lagi.
1)      Macam-macam Iddah
1)   Iddah wanita yang masih haid yaitu tiga kali suci dari haid.
2)   Iddah wanita yang telah lewat masa haidnya (menopaus) yaitu tiga bulan.
3)   Iddah wanita yang ditinggal mati suami yaitu empat bulan sepuluh hari.
4)   Iddah wanita hamil yaitu sampai melahirkan.
5)   Tidak ada iddah bagi wanita yang menikah tapi belum dicampuri.
Beberapa ahli seperti Ibn Abbas telah berkata bahwa karena Allah telah mewajibkan bagi wanita yang ditinggal mati suaminya untuk beriddah selama empat bulan sepuluh hari, serta menetapkan masa menunggu itu bagi wanita hamil sampai dia melahirkan, maka berikutnya, kalau sampai meninggal dan si wanita tengah mengandung, dia dibatasi oleh dua periode yang bersamaan sehingga dia diwajibkan untuk memenuhi salah satu dari kedua masa iddah itu.
Menurut Imam Syafi’I, Rasulullah SAW telah bersabda kepada Subay’ah putri Al-Harits, yang melahirkan seorang anak beberapa hari setelah suaminya meninggal: “Engkau boleh menikah lagi sekarang”, maka ini menunjukkan bahwa iddah baik dalam kasus kematian suami atau cerai, akan terpenuhi dengan berlakunya waktu yang diisyaratkan, ditujukan kepada wanita yang tidak hamil, tetapi jika dia hamil, maka masa iddah itu gugur sampai dia melahirkan.
2)      Tujuan dan Manfaat Masa Iddah
a.       Untuk member kesempatan berpikir kembali dengan pikiran yang jernih, setelah mereka menghadapi keadaan rumah tangga yang panas dan yang demikian keruhnya sehingga mengakibatkan perkawinan mereka putus. Kalau pikiran telah jernih dan dingin diharapkan suami akan merujuk isterinya kembali dan begitu pula si isteri diharapkan jangan menolak rujuk suaminya itu. Sehingga hubungan perkawinan mereka dapat diteruskan kembali.
b.      Dalam perceraian karena ditinggal mati suami, iddah ini diadakan untuk menunjukkan rasa berkabung atas kematian suami.
c.       Untuk mengetahui apakah dalam masa iddah yang berkisar antara tiga atau empat bulan itu, isteri dalam keadaan mengandung atau tidak. Hal ini penting sekali untuk ketegasan dan kepastian hukum mengenai bapak si anak yang seandainya telah ada dalam kandungan wanita yang bersangkutan.
3)      Kewajiban dan Hak Isteri dalam Masa Iddah
Kewajiban isteri dalam masa iddah ialah harus bertempat tinggal di rumah yang ditentukan oleh suami untuk didiami, sampai masa iddahnya habis. Selama waktu iddah isteri dilarang diusir atau dikeluarkan dari rumah tersebut. Selama masa iddah isteri berhak mendapat nafkah dari suaminya seperti nafkah sebelum terjadi perceraian, yaitu berupa perumahan, makanan dan pakaian.
Bagi isteri yang meninggalkan rumah yang telah ditetapkan tanpa alas an-alasan yang bisa dipertanggung jawabkan, ia dianggap nusyuz. Isteri nusyuz tidak berhak lagi menerima nafkah iddah atau haknya nafkah iddah menjadi gugur.
Mengenai nafkah iddah bagi isteri yang sedang dalam masa iddah talak ba’in ada perbedaan pendapat di antara para ahli fiqh, di antaranya:
a.    Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita yang sedang dalam masa iddah talak ba’in berhak atas nafkah seperti yang ia terima sebelum terjadi perceraian, sebab selama masa iddah ia harus tetap tinggal di rumah suami.
b.    Imam Syafi’I dan Imam Malik berpendapat bahwa wanita yang sedang dalam masa iddah talak ba’in hanya berhak mendapat nafkah penuh apabila ia dalam keadaan hamil, apabila tidak hamil ia hanya berhak atas tempat tinggal saja.
c.    Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat nahwa wanita yang sedang dalam iddah talak ba’in tidak berhak nafkah dan juga tidak berhak memperoleh tempat tinggal.
B.       HAK HADLANAH
Apabila terjadi perceraian di mana telah diperoleh keturunan dalam perkawinan itu, maka yang berhak mengasuh anak hasil perkawinan adalah ibu, atau nenek seterusnya ke atas. Tetapi mengenai pembiayaan untuk penghidupan anak itu, termasuk biaya pendidikannya adalah menjadi tanggung jawab ayahnya.[2]
Berakhirnya masa asuhan adalah pada waktu anak itu sudah bisa ditanya kepada siapa anak akan terus ikut. Kalau anak tersebut memilih ibunya maka si ibu tetap berhak mengasuh anak itu, kalau anak itu memilih ikut bapaknya maka hak mengasuh pindah pada bapak.
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian, khususnya mengenai pemeliharaananak dan biaya pendidikannya, Undang- Undang Perkawinan mengaturnya di dalam pasal 41 ayat (a) dan (b), sebagai berikut:
a.    Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya.
b.    Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana dapat dalam kenyataannya tidak dapatmemenuhi kewajiban tersebut. Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
Ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut di atas adalah sejalan dengan ketentuan dalam hukum Islam, yang mendasarkan bahwa kewajiban memelihara dan mendidik anak adalah tanggung jawab bersama yang harus dilaksanakan oleh ibu dan ayah.
Walaupun kewajiban memelihara dan membiayai pendidikan anak adalah tanggung jawab suami, tetapi dalam hal suami tidak mampu tidak ada jeleknya tanggung jawab ini diambil alih oleh si ibu atau dilaksanakan bersama-sama antara ibu dan bapak sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Hal ini dimaksudkan supaya anak tidak menjadi korban, walaupun terjadi perceraian antara suami isteri.
C.      HARTA BERSAMA
Dari segi bahasa harta yaitu barang-barang (uang dan sebagainya) yang menjadi kekayaan.[3] Sedangkan yang dimaksud harta bersama yaitu harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan di luar hadiah atau warisan.
Maksudnya adalah harta yang didapat atas usaha mereka atau sendiri-sendiri selama masa ikatan perkawinan.[4]
Pencahariaan bersama suami isteri atau yang disebut harta bersama atau gono gini ialah harta kekayaan yang dihasilkan bersama oleh suami isteri selama mereka diikat oleh tali perkawinan. Hal ini termuat dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Sebenarnya harta bersama ini berasal dari hukum adat yang pada pokoknya sama di seluruh wilayah Indonesia, yaitu adanya prinsip bahwa masing-masing suami dan isteri, masih berhak menguasai harta bendanya sendiri sebagai halnya sebelum mereka menjadi suami isteri. Mengenai harta bersama dapat dimasukkan dalam istilah syirkah (perkongsian).
Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dalam pasal 1 mengatakan bahwa :”Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri, dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.[5]
Dalam pasal tersebut tersimpul adanya asas, bahwa antara suami isteri terdapat ikatan yang erat sekali, yang meliputi tidak hanya ikatan lahir, ikatan yang nampak dari luar atau ikatan terhadap / atas dasar benda tertentu yang mempunyai wujud, tetapi meliputi ikatan jiwa, batin atau ikatan rohani. Jadi menurut asasnya suami isteri bersatu, baik dalam segi materiil maupun dalam segi spiritual.[6]
Mengenai Harta Benda dalam perkawinan diatur dalam pasal 35 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menentukan :
a.    Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi hartabersama.
b.    Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Dari pasal tersebut dapat disimpulkan, bahwa menurut Undang-Undang Perkawinan, di dalam satu keluarga mungkin terdapat lebih dari satu kelompok harta. Hal ini berlainan sekali dengan sistem yang dianut B.W yaitu bahwa dalam satu keluarga pada asasnya hanya ada satu kelompok harta saja yaitu harta persatuan suami isteri. Menurut UU No. 1 / 1974 kelompok harta yang mungkin terbentuk adalah :
a)      Harta Bersama
Menurtu pasal 35 UU No. 1 tahun 1974, harta bersama suami isteri, hanyalah meliputi harta-harta yang diperoleh suami isteri sepanjang perkawinan saja. Artinya harta yang diperoleh selama tenggang waktu, antara saat peresmian perkawinan, sampai perkawinan tersebut putus, baik terputus karena kematian salah seorang diantara mereka (cerai mati), maupun karena perceraian (cerai hidup).
Dengan demikian, harta yang telah dipunyai pada saat di bawa masuk ke dalam perkawinan terletak di luar harta bersama.
Ketentuan tersebut di atas tidak menyebutkan dari mana atau dari siapa harta tersebut berasal, sehingga boleh kita simpulkan, bahwa termasuk harta bersama adalah :
1.    Hasil dan pendapatan suami.
2.    Hasil dan pendapatan isteri.
3.    Hasil dan pendapatan dari harta pribadi suami maupun isteri, sekalipun harta pokoknya tidak termasuk dalam harta bersama, asal kesemuanya diperoleh sepanjang perkawinan.
Dengan demikian suatu perkawinan, (paling tidak bagi mereka yang tunduk pada Hukum Adat) yang dilangsungkan sesudah berlakunya UUP tidak mungkin mulai dengan suatu harta bersama dengan saldo yang negatif, paling-paling, kalau suami isteri tidak membawa apa-apa dalam perkawinannya, maka harta bersama mulai dengan harta yang berjumlah nihil.
b)      Harta Pribadi
Harta yang sudah dimiliki suami atau isteri pada saat perkawinan dilangsungkan tidak masuk ke dalam harta bersama, kecuali mereka memperjanjikan lain. Harta pribadi suami isteri, menurut pasal 35 ayat 2 UUP terdiri dari :
1.    Harta bawaan suami isteri yang bersangkutan.
2.    Harta yang diperoleh suami isteri sebagai hadiah atau warisan.
Apa yang dimaksud dengan ”harta bawaan”, dalam undangundang maupun dalam penjelasan atas UU RI nomor 1/1974, tentang perkawinan”, tidak ada penjelasan lebih lanjut, tetapi mengingat, bahwa apa yang diperoleh sepanjang perkawinan masuk dalam kelompok harta bersama, maka dapat diartikan bahwa yang dimaksu di sini adalah harta yang dibawa oleh suami isteri. Jadi yang sudah ada pada suami dan atau isteri ke dalam perkawinan.
Adanya pemisahan secara otomatis (demi hukum) antara harta pribadi dengan harta bersama, tanpa disertai dengan kewajiban untuk mengadakan pencatatan pada saat perkawinan akan dilangsungkan (atau sebelumnya) dapat menimbulkan banyak masalah di kemudian hari dalam segi asal usul harta atau harta-harta tertentu pada waktu pembagian dan pemecahan baik karena perceraian maupun kematian (perceraian). Adalah sangat menguntungkan, kalau di kemudian hari dalam peraturan pelaksanaan diadakan ketentuan yang mewajibkan adanya pencatatan harta bawaan masing-masing suami isteri.
Walaupun tidak disebutkan dengan tegas dalam pasal 35 ayat 2, tetapi kalau kita mengingat pada ketentuan pasal 35 ayat 1, maka ketentuan mengenai harta pribadi hibahan dan warisan, kiranya hanyalah meliputi hibahan atau warisan suami / isteri yang diperoleh sepanjang perkawinan saja.
Pasal 35 ayat 2 mengandung suatu asas yang berlainan dengan asas yang dianut dalam B.W, yang menyebutkan bahwa yang suami dan atau isteri peroleh sepanjang perkawinan dengan Cuma-Cuma baik hibahan atau warisan masuk ke dalam harta persatuan kecuali nila ada perjanjian lain.



Pasal lain dalam UU No. 1 tahun 1974 yang mengatur harta bersama yaitu pasal 36 dan 37 yang berbunyi :
Pasal 36
1.    Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
2.    Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Pasal 37
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, khususnya mengenai hokum perkawinan banyak terjadi duplikasi dengan apa yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974. Dalam Kompilasi Hukum Islam mengenai harta kekayaan dalam perkawinan dibahas dalam Bab XIII.
Menurut pasal 85 adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri. Tetapi dalam pasal 86 ditegaskan pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan.

DAFTAR PUSTAKA
·           Rahman, Abdul, Perkawinan dalam Syariat Islam, 1996. Jakarta: PT. Rineka Cipta,
·           Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, 1997. Yogyakarta: Liberty.
·           Depdikbad, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989. Balai Pustaka, , cet.2.
·           Rofiq , Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, 1995.  Jakarta , Raja Grafindo Persada.
·           UUP No. 1 Tahun 1974, Penerbit Arkola Surabaya.
·           Hilma Hadi Kusumo, Hukum Perkawinan Adat, 1999. Bandung, Aditya Bakti, cet. IV.


[1] Abdul Rahman, Perkawinan dalam Syariat Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996), hal.120.
[2] Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1997), hal. 126
[3] Depdikbad, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1989, cet.2, hlm 199
[4] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm.
200
[5] UUP No. 1 Tahun 1974, Penerbit Arkola Surabaya, hlm. 1
[6] Hilma Hadi Kusumo, Hukum Perkawinan Adat, Aditya Bakti, Bandung, cet. IV, 1999,
hlm. 156

Tidak ada komentar: