Jumat, 14 Oktober 2011

download mp3 lengkap

atau klik link di bawah ini
http://www.ziddu.com/download/16830427/CariPacarLagidyonsebastian.mp3.html

SUMBER HUKUM DAN KEWENANGANNYA DI INDONESIA[1]

A. Pengantar
Sebagaimana diketahui umum bahwa dalam rangka demokratisasi dan pembatasan kekuasaan, dikenal dengan adanya prinsip pemisahan kekuasaan, baik secara horisontal maupun vertikal. Pemisahan kekuasaan secara horisontal dibagi dalam beberapa cabang kekuasaan yang dikaitkan dengan fungsi lembaga-lembaga tertentu. Sebagaimana dikemukakan oleh Montesquieu, bahwa kekuasaan harus dipisahkan ke dalam fungsi-fungsi eksekutif, legislatif dan yudikatif. Fungsi legislatif biasanya dikaitkan dengan peran pemerintah dan fungsi judikatif dilaitkan dengan lembaga peradilan serta fungsi legislatif dikaitkan  peran lembaga parlemen atau “legislature[3].
            Pembagian kekuasaan secara vertikal  dalam 5 lembaga tinggi negera memperoleh kewenangannyadari kekuasaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai penjelmaan rakyat, yaitu Mahkamah Agung ( MA), Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) fungsi verifikatif/akuntatif), dan  Dewan Pertimbangan Rakyat (DPA yang memiliki  fungsi konsultatif/ advistory.
            Dalam rangka pembagian fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif, sebelum diadakan perubahan UUD 1945. Fungsi yudikatif  ditentukan secara tegas dalam   UUD 1945 bahwa kekuasaan kehakiman adalah bebas merdeka, tidak boleh ada campur tangan pihak manapun, dalam rangka mewujudkan peradilan yang mandiri. Oleh karena itu, disetujuilah  RUU oleh DPR-RI menjadi UU  No.35 tahun 1999 tentang perubahan atas UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan Kekuasaan Kehakiman kemudian diatur dengan UU No. 4 Tahun 2004.[4]   Sedang kekuasaan eksekutif ( Presiden)  yang juga memiliki kekuasaan membentuk Undang-Undang. Oleh karena itu, perkembangannya ada keinginan untuk membatasi kekuasaan presiden dengan menerapkan prinsip pemisahan kekuasaan yang tegas kekuasaan eksekutif dan legislatif.
            Inilah yang  melatarbelakangi diadakan perubahan UUD 1945, mempertegas adanya kekuasaan DPR di bidang legislatif dengan mengubah rumusan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945. Pasal   20 A ayat (1) ” Dewan Perwakilan Rakyat memiliki  fungsi legislasi, fungsi Anggran, fungsi Pengawasan.[5]       

B.  Pergeseran kekuasaan legislatif.
      (Keseimbangan Peran Lembaga Legislatif  vs Eksekutif).
Pasal 5 ayat (1) :
” Presidsen memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR.
Pasal 20 ayat (1):
” Anggota DPR berhak mengajukan RUU  .

-Kedudukan demikian meunjukkan ketidakseimbvangan kedudukan DPR dan Presiden dalam bidang legislatif. Hal ini terlihat misalnya dalam pembetukan Peraturan Penmerintah (PP) sebagai penggantui UU ( Perpu) sebagimana 
Pasal 22 ayat (1):
Presiden diberi hak dan wewenanag oleh UUD untuk menetapkan Perpu dan memberlakukan 1 tahun tanpa memerlukan persetujuan DPR.
      ( hak veto ).
Sedangkan dalam hal RUU hak inisiatif DPR,  yang telah disahkan DPR, tetapi tidak disetujui presiden, maka RUU tidak dapat diberlakukan  ( Pasal 21 ayat ( 2), dan beberapa peraturan yang dibuat berdasarkan kewenangan ( policy rules), (beleidregels)   dalam hal presiden mengeluarkan Keputusan Presiden yang bersifat mandiri ( yang kadang-kadang seharusnya diatur dalam UU).
                 
    C. Implikasi dari pergeseran -Angin segar bagi DPR 
         Perubahan kedua UUD 1945 bahwa ada perubahan mendasar dalam pada  Pasal 5 UUD 1945  yang menegaskan bahwa dalam 30 hari, Presiden tidak mengundangkan RUU  yang sudah disetujui  bersama, maka RUU tersebut berlaku sebagai UU, dengan demikian Presiden tidak lagi memliiki hak veto untuk mengundangan RUU yang sudah mendapat persetujuan DPR mellalui proses pembahasan bersama Pemerintah. (Di AS: presiden punya hak veto untuk tidak mengundangkan RUU yang telah disetujui Senat dan DPR di Parlemen). Tetapi,  RUU yang di veto oleh Presiden dapat diajukan di perlemen pada persidangan berikutnya.    
Secara hukum, pergesaran fungsi legislatif DPR membawa implikasi yang luas baik terhadap cabang kekuasaan pemerintah, terhadap fungsi DPR, maupun terhadap fungsi kehakiman. Dengan adanya pergeseran teresebut maka pemisahan fungsi eksekutif, legislatif dan yudikatif makan tegas. Dengan adanya pergesaran kekuasaan tersebut, maka para pejabat pemerintah hanya berfungsi sebagai pelaksana peraturan perundang-undangan produk DPR.  Beberapa hal yang penting dalam konsekuensi  dari pergeseran ini adalah:
    • Freis Ermessen :
Kebebasan pemerintah untuk melakukan/ membuat kebijakan sendidi dalam rangka mencapai tujuan pemerintahan.
    • Freis Ermessen – harus dibatasi  (materi  yang diatur).
    • Prosedur  penetapannya oleh presiden  kemudian dimintakan persetujuan DPR.
    • Masa Berlaku Peraturan Pemerintah  paling lama 1 tahun
    • Peperpu  seharusnya dibuat atas dasar perintah UU atau dalam kerangka melaksanakan UU.
    • Pejabat yang  mengeluarkan produk  peraturan harus dibatasi  yakni pejabat yang menduduki jabatan-jabatan politik misal Presiden, Menteri atau pejabat seringkat Menteri, Gubernur, Bupati, Walikota  dan Kepala desa.
    • Nomenklaturnya  harus konsisten : ” Peraturan”.------à misal Peraturan Presiden.           
D.  Penutup.
Seandanya kita konsisten terhadap Perubahan UUD  1945, maka  Format Naskah Undang-Undang yang selama ini ada juga harus dirubah.
Format lama .
Kalimat kepala : 
Presiden Republik Indonesia, dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rekyat Republik Indonesia,
 menetapkan Undang-Undang Nomor.............. tentang ..............

( kalimat demikian tepat menurut  Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 lama.
Akan tetapi sekarang,           
Pasal   5  ayat (1)  setelah Perubahan kedua, menyatakan bahwa
” DPR memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang.
Maka kalimat  nya seharusnya :
” Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dengan Persetujuan Presiden, menetapkan Undang-Undang Nomor... tentang.................
Dengan demikian, UU sebagai salah satu bentuk peraturan benar-benar dapat ditetapkan oleh DPR sebagai lembaga legislatif. Dimana peraturan Perundangan yang dibuat mempunyai derajat dibawah UUD. 


[1]Makalah disampaikan dalam “Trainning Legal Drafting “  Lembaga Hukum  Mahasiswa Hukum Islam ( LHMI) Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Sabtu, 23 Februari 2008. 
[3]Jimly,  Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, Yogyakarta: FH UII Press, 2004, hlm. 179. 
[4] Bambang Sutiyoso dan Sri Hastusi Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2005, hlm. 14-15.
[5]  Jimly,  Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara, Jakarta: KON Press, 2006. 

AMANDEMEN UUD 1945 DAN SEMANGAT PENYELENGGARA NEGARA DITINJAU DARI ASPEK HUKUM TATANEGARA

Lima puluh tujuh tahun yang lalu negarawan pendiri Republik ini telah merumuskan UUD 1945 yang monumental, penuh dan sarat dengan symbol dan mitos. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya konstitusi ini telah berperan mengikat dan menyatukan masyarakat Indonesia yang pluralistik, dan berhasil menumbuhkan perasaan kebangsaan yang mendalam.
Dalam perjalanan sejarah Republik ini ternyata apa yang disebut symbol dan mitos tersebut tidak cukup, sebab tidak ada satu sistem ketatanegaraan yang digambarkan dalam konstitusi atau UUD sudah sempurna pada saat dilahirkan, karena dia adalah produk zamannya. UUD 1945 adalah produk masanya, dalam kurun waktu perkembangannya mungkin saja terasa sesuatu yang perlu diubah atau di amandemen. Dan berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Pasal 37 UUD 1945 sejak tahun 1999 sampai tahun 2002 MPR  telah melakukan tiga kali perubahan UUD 1945 dengan menghasilkan perubahan pertama dalam Sidang Umum MPR 1999, perubahan kedua dalam sidang tahunan 2000 dan perubahan ketiga dalam Sidang Tahunan 2001.

II
Setelah tiga dasa warsa bangsa ini terpasung, maka tidak dapat tidak, amandemen UUD 1945 harus merupakan conditio sine quo non untuk tegaknya demokrasi, rule of law, pengendalian kekuasaan dan memungkinkan warga negara secara maksimal mempergunakan kebebasan individual dan hak politik partisipatorisnya.
Dari aspek hukum ketatanegaraan perubahan UUD 1945 merupakan hal yang wajar dan bisa terjadi, karena memang diatur dalam pasal 37 UUd 1945, apabila lembaga yang berwenang yakni Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mempunyai keinginan politik untuk perubahan itu, sepanjang perubahan itu tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, bentuk negara kesatuan dan sistem pemerintahan presidensial.
Perubahan UUD 1945 pada hakekatnya  merupakan tuntutan mendasar bagi penataan ulang kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Perubahan terhadap UUD 1945 berangkat dari tuntutan reformasi dalam rangka membentuk atau mendesain demokrasi yang berorientasi pada keadilan, supremasi hukum, civil society dan checks and balances yang menaburkan dominasi kekuasaan seperti strong presidensiil.
Konstitusi harus benar-benar merupakan "the Supreme Law of the Land". Para penyelenggara negara harus sadar bahwa kewenangan mereka dibatasi oleh konstitusi, dan rakyat atau warga neara juga harus yakin bahwa konstitusi melindungi mereka sebagai refleksi dari apa yang dinamakan kontrak sosial.
Di era reformasi dimana bangsa Indonesia telah sepakat untuk mengaktualisasikan nilai-nilai dasar demokrasi, konstitusi tidak lagi dianggap sacral dan hal itu telah dibuktikan dengan adanya tiga kali proses amandemen konstitusi dalam Sidang Tahunan MPR.
Munculnya pemikiran atau gagasan pembentukan komisi konstitusi yang bersifat independen harus disikapi secara positif. Kendatipun secara konstitusional MPR yangt berwenang merubah UUD 1945, namun dalam proses perubahan perlu diberi peluang partisipasi masyarakat dalam penyusunan materinya.
Pentingnya partisipasi rakyat dalam proses penyusunan konstitusi, karena pada hakekatnya konstitusi merupakan kontrak sosial antara masyarakat dengan negara, dimana pada satu sisi masyarakat merelakan diri untuk melepas sebagian dari hak-haknya dan tunduk dan diatur oleh negara. Sementara disisi lainnya, negara juga diberi batasan-batasan tertentu dengan adanya pengakuan dan jaminan terhadap HAM dengan mengedepankan prinsip pembatasan kekuasaan dan checks and balance. Dengan demikian sudah seharusnya masyarakat atau warga negara berpartisipasi penuh dalam proses pembentukan konstitusi.
Adalah kurang bijak apabila proses perubahan UUD 1945 yang menyangkut nasib seluruh anak negeri, hanya menjadi monopoli 700 anggota MPR semata. Karena itu perlu agar rakyat secara keseluruhan menjadi bagian aktif dalam proses yang ada dan rakyat sebagai pemilik kedaulatan berhak mendapatkan informasi semaksimal mungkin mengenai hal itu.

III

MPR telah tiga kali melakukan amandemen terhadap UUD 1945 sejak tahun 1999. Tahun 2002 ini MPR dijadualkan untuk menyelesaikan amandemen keempat dan terakhir terhadap UUD 1945.
Dalam proses amandemen beberapa substansi materi misalnya tentang sistem pemerintahan memang diperlukan kajian kritis. Kesepakatan awal pada tahun 1999 yang menetapkan bahwa UUD 1945 tetap menganut sistem Presidensial ternyata materi pengaturannya tidak konsisten.
Beberapa hal yang menunjukkan bahwa sistem Presidensial tidak diterapkan secara konsisten adalah :

  1.  MPR masih memiliki kewenangan-kewenangan yang meletakkannya sebagai suatu lembaga "Supra", bahkan di atas konstitusi, karena asih berwenang menetapkan dan melakukan perubahan terhadap konstitusi (Pasal 3 perubahan ketiga UUD 1945).
  2. Menentukan impeachment terhadap Presiden meskipun sudah ada rekomendasi dari Mahkamah Konstitusi (Pasal 7 B ayat (7) perubahan ketiga).
  3.  Pemilihan Presiden belum disepakati untuk dilaksanakan sepenuhnya secara langsung karena masih ada keinginan untuk melakukan pemilihan Presiden tahap kedua oleh MPR. Apabila sistem Presidensiil dilaksanakan secara konsekuen, maka Presiden harus sepenuhnya dipilih secara langsung oleh rakyat. Peluang bagi MPR untuk tetap melakukan pemilihan Presiden akan merusak sistem checks and balance yang menjadi inti sistem pemerintahan presidensiil.
  4. Sistem bikameral yang digariskan dalam amandemen ketiga UUD 1945 masih bukan bikameralisme murni yang menjamin adanya keseimbangan atau checks and balance antara kedua kamar di parlemen yakni DPR dan DPD. Wewenang DPD lebih lemah bila dibandingkan wewenang DPR. DPD hanya memiliki hak legislasi dan pembahasan dalam hal-hal yang berkaitan dengan otonomi daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah (Pasal 22 D ayat 1dan 2). Untuk mempertahankan akuntabilitas horizontal dan menjamin keterwakilan suatu daerah, maka seharusnya DPD diberi kewenangan yang sejajar dengan DPR, sehingga wakil daerah pun dapat memberikan suaranya mengenai persoalan-persoalan nasional.

Dengan demikian parlemen atau MPR hanya merupakan suatu joint session yang terdiri dari DPR dan DPD yang hanya dapat menghasilkan legislasi atau keputusan secara bersama.
Persoalan mendasar dalam praktek politik ketatanegaraan yang akan datang adalah mengenai keanggotaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dalam perubahan ketiga UUD 1945 ditegaskan bahwa anggota DPD dari setiap propinsi jumlahnya sama dan jumlah anggota DPD itu tidak boleh lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR (Pasal 22 C ayat 2 Perubahan Ketiga UUD 1945). Ketimpangan jumlah DPR dan DPD menjadi persoalan dalam konteks bikameral pada masa yang akan datang. Masalahnya bagaimana menentukan quorum Sidang MPR. Bila diterapkan ketentuan one man one vote (satu orang satu suara), berarti DPR dapat mengabaikan kehadiran DPD. Artinya sidang MPR tidak memerlukan persetujuan DPD karena jumlah DPR yang mayoritas.
Oleh karena itu dalam praktek ketatanegaraan yang akan datang perlu adanya political will dengan mempertimbangkan kehadiran konvensi ketatanegaraan agar anggota DPD mempergunakan sistem bukan jumlahnya sama setiap propinsi, tetapi memilih satu anggota DPD per kabupaten/kota. Karenanya masalah keterwakilan Daerah lewat DPD perlu memperoleh perbaikan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia mendatang.
Perbincangan atau diskursus tentang keterwakilan rakyat/daerah sebagaimana dikemukakan di atas merupakan perbincangan tentang dan sekitar perwujudan demokrasi dulu, kini dan yang akan datang dalam politikan Indonesia
Dalam realitas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) keterwakilan merupakan legitimasi yang paling rasional sebagai penghormatan yang dapat dijelaskan dengan satu pemahaman bahwa, pluralitas atau kemajemukan yang sangat mungkin terjadi dalam komunitas masyarakat Indonesia dapat terakomodasi tanpa mengedepankan peran-peran anarkis dan dominasi atas satu kelompok oleh kelompok lain.
IV
Dari apa yang disampaikan di atas, maka masalah yang tidak kalah penting pasca amandemen UUD 1945 adalah menyangkut tentang dan sekitar operasionalisasi pemerintahan dalam hal hidupnya negara. Dalam konteks tersebut tidak dapat tidak kita harus berbicara mengenai semangat penyelenggara negara atau semangat para pemimpin pemerintahan.
UUD suatu negara adalah memuat pengaturan-pengaturan dasar bagi penghidupan dan kehidupan di segala bidang dari bangsa dan negara yang ber undang-undang dasar itu. Demikian pula UUD baru (hasil amandemen) bagi negara Republik Indonesia.
Karenanya dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia kedepan harus dapat dibedakan antara hukum dasar tertulis (UUD) dengan etika politik dan etika moral penyelenggara negara dan penyelenggara pemerintahan, sebagai unsur dinamis yang bergandengan dengan hukum dasar tertulis itu sendiri (UUD 1945 hasil amandemen).
Karenanya apa yang harus dipertahankan dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia yang akan datang adalah terutama nilai-nilai yang terkandung dalam hukum tertulis itu sendiri, terutama adalah Pembukaan UUD 1945, sedangkan implementasinya (dalam bentuk Undang-undang), yang dibuat oleh DPR dan Presiden sebagai penyelenggara negara/pemimpin pemerintahan haruslah dinamis disesuaikan dengan dinamika masyarakat.
Sesuai dengan asas kedaulatan rakyat yang dianut oleh konstitusi baru Indonesia hasil amandemen, maka tidak dapat tidak syarat yang harus dipenuhi dalam mengimplementasikan ketentuan-ketentuan konstitusi yaitu disepakati oleh seluruh rakyat, tidak boleh ada pemaksaan kehendak oleh para pemimpin pemerintahan atau penyelenggara negara yang dalam konteks, politik ketatanegaraan disebut konsensus nasional.
Daaam menyongsong/mengiringi ketatanegaraan Indonesia (pasca amandemen UUD 1945) konsensus nasional harus diupayakan terus menerus dalam praktek  ketatanegaraan. Kemungkinan-kemungkinan yang akan muncul dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia yang akan datang sangat komplek sesuai dengan dinamika masyarakat yang menyangkut banyak persoalan yang dasarnya bersumber pada masalah pokok antara lain;
  1. Masalah hak asasi
  2. Masalah keterbukaan dan transparansi
  3. Masalah kemiskinan dan ketidakadilan
  4. Masalah demokrasi dan demokratisasi
  5. Mekhanisme suksesi (pemilihan Presiden langsung atau melalui MPR)
  6. Masalah pendidikan dan lain sebagainya.
Oleh sebab itu dalam mengiringi kehidupan ketatanegaraan Indonesia kedepan sebagaimana gambaran di atas sangat relevan apabila kita kaitkan dengan semangat penyelenggara negara, semangat pemimpin pemerintahan.

*) Disampaikan dalam seminar nasional “Sikap Antar Generasi Menanggapi Amandemen UUD 1945 dan Kondisi Negara Bangsa Dewasa ini ,”Kerjasama Dewan Harian Daerah 45 – Lembaga dan Pengembangan Kehidupan Bernegara (LP2KB) – Forum Pasca 45 Propinsi DIY, tanggal 27 Juli 2002.
**) Guru Besar Fakultas Hukum UII

Kamis, 13 Oktober 2011

MASA ‘IDDAH, HAK HADLANAH, HARTA BERSAMA


A.      IDDAH
Kata ‘iddah berasal dari Bahasa Arab “Al-‘Adad” berarti bilangan, dan dalam istilah Syariat ia berarti suatu masa penantian seorang perempuan sebelum kawin lagi setelah kematian suaminya atau bercerai darinya.[1] Para Ulama Muslim sepakat tentang wajibnya iddah, karena perintah Allah dalam Al-Quran tentang hal ini cukup jelas tersurat:Q.S Al- Baqarah, 228
Syariat menekankan perdamaian atau rujuk sebagai suatu jalan yang lebih baik dari bercerai bagi pasangan yang menikah, dan member mereka kesempatan untuk memperbaiki hubungan mereka kalau telah menjadi renggang, tidak harmonis. Oleh karena itu Al- Quran menetapkan suatu saat pisah pendek dan terselangnya hubungan perkawinan itu mungkin akan member kesempatan kepada pasangan itu memikirkan dan mempertimbangkan kembali kepentingan-kepentingan kekeluargaan dan anak-anak, dengan mempertanyakan apakah perpisahan ini patut diurungkan, rujuk kembali, atau akan bercerai seterusnya.
Iddah mempunyai tujuan penting lain yang harus dijalani, yaitu dengannya dapat diketahui apakah si wanita tengah mengandung dari suami terdahulu, agar ia tidak bimbang mengenai ayah dari anak yang dikandungnya itu, bila si wanita itu ingin menikah lagi.
1)      Macam-macam Iddah
1)   Iddah wanita yang masih haid yaitu tiga kali suci dari haid.
2)   Iddah wanita yang telah lewat masa haidnya (menopaus) yaitu tiga bulan.
3)   Iddah wanita yang ditinggal mati suami yaitu empat bulan sepuluh hari.
4)   Iddah wanita hamil yaitu sampai melahirkan.
5)   Tidak ada iddah bagi wanita yang menikah tapi belum dicampuri.
Beberapa ahli seperti Ibn Abbas telah berkata bahwa karena Allah telah mewajibkan bagi wanita yang ditinggal mati suaminya untuk beriddah selama empat bulan sepuluh hari, serta menetapkan masa menunggu itu bagi wanita hamil sampai dia melahirkan, maka berikutnya, kalau sampai meninggal dan si wanita tengah mengandung, dia dibatasi oleh dua periode yang bersamaan sehingga dia diwajibkan untuk memenuhi salah satu dari kedua masa iddah itu.
Menurut Imam Syafi’I, Rasulullah SAW telah bersabda kepada Subay’ah putri Al-Harits, yang melahirkan seorang anak beberapa hari setelah suaminya meninggal: “Engkau boleh menikah lagi sekarang”, maka ini menunjukkan bahwa iddah baik dalam kasus kematian suami atau cerai, akan terpenuhi dengan berlakunya waktu yang diisyaratkan, ditujukan kepada wanita yang tidak hamil, tetapi jika dia hamil, maka masa iddah itu gugur sampai dia melahirkan.
2)      Tujuan dan Manfaat Masa Iddah
a.       Untuk member kesempatan berpikir kembali dengan pikiran yang jernih, setelah mereka menghadapi keadaan rumah tangga yang panas dan yang demikian keruhnya sehingga mengakibatkan perkawinan mereka putus. Kalau pikiran telah jernih dan dingin diharapkan suami akan merujuk isterinya kembali dan begitu pula si isteri diharapkan jangan menolak rujuk suaminya itu. Sehingga hubungan perkawinan mereka dapat diteruskan kembali.
b.      Dalam perceraian karena ditinggal mati suami, iddah ini diadakan untuk menunjukkan rasa berkabung atas kematian suami.
c.       Untuk mengetahui apakah dalam masa iddah yang berkisar antara tiga atau empat bulan itu, isteri dalam keadaan mengandung atau tidak. Hal ini penting sekali untuk ketegasan dan kepastian hukum mengenai bapak si anak yang seandainya telah ada dalam kandungan wanita yang bersangkutan.
3)      Kewajiban dan Hak Isteri dalam Masa Iddah
Kewajiban isteri dalam masa iddah ialah harus bertempat tinggal di rumah yang ditentukan oleh suami untuk didiami, sampai masa iddahnya habis. Selama waktu iddah isteri dilarang diusir atau dikeluarkan dari rumah tersebut. Selama masa iddah isteri berhak mendapat nafkah dari suaminya seperti nafkah sebelum terjadi perceraian, yaitu berupa perumahan, makanan dan pakaian.
Bagi isteri yang meninggalkan rumah yang telah ditetapkan tanpa alas an-alasan yang bisa dipertanggung jawabkan, ia dianggap nusyuz. Isteri nusyuz tidak berhak lagi menerima nafkah iddah atau haknya nafkah iddah menjadi gugur.
Mengenai nafkah iddah bagi isteri yang sedang dalam masa iddah talak ba’in ada perbedaan pendapat di antara para ahli fiqh, di antaranya:
a.    Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita yang sedang dalam masa iddah talak ba’in berhak atas nafkah seperti yang ia terima sebelum terjadi perceraian, sebab selama masa iddah ia harus tetap tinggal di rumah suami.
b.    Imam Syafi’I dan Imam Malik berpendapat bahwa wanita yang sedang dalam masa iddah talak ba’in hanya berhak mendapat nafkah penuh apabila ia dalam keadaan hamil, apabila tidak hamil ia hanya berhak atas tempat tinggal saja.
c.    Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat nahwa wanita yang sedang dalam iddah talak ba’in tidak berhak nafkah dan juga tidak berhak memperoleh tempat tinggal.
B.       HAK HADLANAH
Apabila terjadi perceraian di mana telah diperoleh keturunan dalam perkawinan itu, maka yang berhak mengasuh anak hasil perkawinan adalah ibu, atau nenek seterusnya ke atas. Tetapi mengenai pembiayaan untuk penghidupan anak itu, termasuk biaya pendidikannya adalah menjadi tanggung jawab ayahnya.[2]
Berakhirnya masa asuhan adalah pada waktu anak itu sudah bisa ditanya kepada siapa anak akan terus ikut. Kalau anak tersebut memilih ibunya maka si ibu tetap berhak mengasuh anak itu, kalau anak itu memilih ikut bapaknya maka hak mengasuh pindah pada bapak.
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian, khususnya mengenai pemeliharaananak dan biaya pendidikannya, Undang- Undang Perkawinan mengaturnya di dalam pasal 41 ayat (a) dan (b), sebagai berikut:
a.    Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya.
b.    Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana dapat dalam kenyataannya tidak dapatmemenuhi kewajiban tersebut. Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
Ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut di atas adalah sejalan dengan ketentuan dalam hukum Islam, yang mendasarkan bahwa kewajiban memelihara dan mendidik anak adalah tanggung jawab bersama yang harus dilaksanakan oleh ibu dan ayah.
Walaupun kewajiban memelihara dan membiayai pendidikan anak adalah tanggung jawab suami, tetapi dalam hal suami tidak mampu tidak ada jeleknya tanggung jawab ini diambil alih oleh si ibu atau dilaksanakan bersama-sama antara ibu dan bapak sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Hal ini dimaksudkan supaya anak tidak menjadi korban, walaupun terjadi perceraian antara suami isteri.
C.      HARTA BERSAMA
Dari segi bahasa harta yaitu barang-barang (uang dan sebagainya) yang menjadi kekayaan.[3] Sedangkan yang dimaksud harta bersama yaitu harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan di luar hadiah atau warisan.
Maksudnya adalah harta yang didapat atas usaha mereka atau sendiri-sendiri selama masa ikatan perkawinan.[4]
Pencahariaan bersama suami isteri atau yang disebut harta bersama atau gono gini ialah harta kekayaan yang dihasilkan bersama oleh suami isteri selama mereka diikat oleh tali perkawinan. Hal ini termuat dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Sebenarnya harta bersama ini berasal dari hukum adat yang pada pokoknya sama di seluruh wilayah Indonesia, yaitu adanya prinsip bahwa masing-masing suami dan isteri, masih berhak menguasai harta bendanya sendiri sebagai halnya sebelum mereka menjadi suami isteri. Mengenai harta bersama dapat dimasukkan dalam istilah syirkah (perkongsian).
Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dalam pasal 1 mengatakan bahwa :”Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri, dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.[5]
Dalam pasal tersebut tersimpul adanya asas, bahwa antara suami isteri terdapat ikatan yang erat sekali, yang meliputi tidak hanya ikatan lahir, ikatan yang nampak dari luar atau ikatan terhadap / atas dasar benda tertentu yang mempunyai wujud, tetapi meliputi ikatan jiwa, batin atau ikatan rohani. Jadi menurut asasnya suami isteri bersatu, baik dalam segi materiil maupun dalam segi spiritual.[6]
Mengenai Harta Benda dalam perkawinan diatur dalam pasal 35 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menentukan :
a.    Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi hartabersama.
b.    Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Dari pasal tersebut dapat disimpulkan, bahwa menurut Undang-Undang Perkawinan, di dalam satu keluarga mungkin terdapat lebih dari satu kelompok harta. Hal ini berlainan sekali dengan sistem yang dianut B.W yaitu bahwa dalam satu keluarga pada asasnya hanya ada satu kelompok harta saja yaitu harta persatuan suami isteri. Menurut UU No. 1 / 1974 kelompok harta yang mungkin terbentuk adalah :
a)      Harta Bersama
Menurtu pasal 35 UU No. 1 tahun 1974, harta bersama suami isteri, hanyalah meliputi harta-harta yang diperoleh suami isteri sepanjang perkawinan saja. Artinya harta yang diperoleh selama tenggang waktu, antara saat peresmian perkawinan, sampai perkawinan tersebut putus, baik terputus karena kematian salah seorang diantara mereka (cerai mati), maupun karena perceraian (cerai hidup).
Dengan demikian, harta yang telah dipunyai pada saat di bawa masuk ke dalam perkawinan terletak di luar harta bersama.
Ketentuan tersebut di atas tidak menyebutkan dari mana atau dari siapa harta tersebut berasal, sehingga boleh kita simpulkan, bahwa termasuk harta bersama adalah :
1.    Hasil dan pendapatan suami.
2.    Hasil dan pendapatan isteri.
3.    Hasil dan pendapatan dari harta pribadi suami maupun isteri, sekalipun harta pokoknya tidak termasuk dalam harta bersama, asal kesemuanya diperoleh sepanjang perkawinan.
Dengan demikian suatu perkawinan, (paling tidak bagi mereka yang tunduk pada Hukum Adat) yang dilangsungkan sesudah berlakunya UUP tidak mungkin mulai dengan suatu harta bersama dengan saldo yang negatif, paling-paling, kalau suami isteri tidak membawa apa-apa dalam perkawinannya, maka harta bersama mulai dengan harta yang berjumlah nihil.
b)      Harta Pribadi
Harta yang sudah dimiliki suami atau isteri pada saat perkawinan dilangsungkan tidak masuk ke dalam harta bersama, kecuali mereka memperjanjikan lain. Harta pribadi suami isteri, menurut pasal 35 ayat 2 UUP terdiri dari :
1.    Harta bawaan suami isteri yang bersangkutan.
2.    Harta yang diperoleh suami isteri sebagai hadiah atau warisan.
Apa yang dimaksud dengan ”harta bawaan”, dalam undangundang maupun dalam penjelasan atas UU RI nomor 1/1974, tentang perkawinan”, tidak ada penjelasan lebih lanjut, tetapi mengingat, bahwa apa yang diperoleh sepanjang perkawinan masuk dalam kelompok harta bersama, maka dapat diartikan bahwa yang dimaksu di sini adalah harta yang dibawa oleh suami isteri. Jadi yang sudah ada pada suami dan atau isteri ke dalam perkawinan.
Adanya pemisahan secara otomatis (demi hukum) antara harta pribadi dengan harta bersama, tanpa disertai dengan kewajiban untuk mengadakan pencatatan pada saat perkawinan akan dilangsungkan (atau sebelumnya) dapat menimbulkan banyak masalah di kemudian hari dalam segi asal usul harta atau harta-harta tertentu pada waktu pembagian dan pemecahan baik karena perceraian maupun kematian (perceraian). Adalah sangat menguntungkan, kalau di kemudian hari dalam peraturan pelaksanaan diadakan ketentuan yang mewajibkan adanya pencatatan harta bawaan masing-masing suami isteri.
Walaupun tidak disebutkan dengan tegas dalam pasal 35 ayat 2, tetapi kalau kita mengingat pada ketentuan pasal 35 ayat 1, maka ketentuan mengenai harta pribadi hibahan dan warisan, kiranya hanyalah meliputi hibahan atau warisan suami / isteri yang diperoleh sepanjang perkawinan saja.
Pasal 35 ayat 2 mengandung suatu asas yang berlainan dengan asas yang dianut dalam B.W, yang menyebutkan bahwa yang suami dan atau isteri peroleh sepanjang perkawinan dengan Cuma-Cuma baik hibahan atau warisan masuk ke dalam harta persatuan kecuali nila ada perjanjian lain.



Pasal lain dalam UU No. 1 tahun 1974 yang mengatur harta bersama yaitu pasal 36 dan 37 yang berbunyi :
Pasal 36
1.    Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
2.    Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Pasal 37
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, khususnya mengenai hokum perkawinan banyak terjadi duplikasi dengan apa yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974. Dalam Kompilasi Hukum Islam mengenai harta kekayaan dalam perkawinan dibahas dalam Bab XIII.
Menurut pasal 85 adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri. Tetapi dalam pasal 86 ditegaskan pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan.

DAFTAR PUSTAKA
·           Rahman, Abdul, Perkawinan dalam Syariat Islam, 1996. Jakarta: PT. Rineka Cipta,
·           Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, 1997. Yogyakarta: Liberty.
·           Depdikbad, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989. Balai Pustaka, , cet.2.
·           Rofiq , Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, 1995.  Jakarta , Raja Grafindo Persada.
·           UUP No. 1 Tahun 1974, Penerbit Arkola Surabaya.
·           Hilma Hadi Kusumo, Hukum Perkawinan Adat, 1999. Bandung, Aditya Bakti, cet. IV.


[1] Abdul Rahman, Perkawinan dalam Syariat Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996), hal.120.
[2] Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1997), hal. 126
[3] Depdikbad, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1989, cet.2, hlm 199
[4] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm.
200
[5] UUP No. 1 Tahun 1974, Penerbit Arkola Surabaya, hlm. 1
[6] Hilma Hadi Kusumo, Hukum Perkawinan Adat, Aditya Bakti, Bandung, cet. IV, 1999,
hlm. 156